Rabu, 25 Januari 2012

hak asasi manusia


.       Sejarah dan Konsep Hak Asasi Manusia
Sejarah keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) pada hakikatnya sudah berlangsung sejak lama yaitu sepanjang sejarah keberadaan manusia itu sendiri. Pemikiran ini didasarkan bahwa hak-hak asasi yang kekal dan secara kodrati inherent atau melekat pada diri manusia adalah hak-hak asasi yang diberikan oleh tuhan yang menciptakan manusia sebagai anugerah-Nya, oleh karena itu harus dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi dan tidak boleh dikurangi, dirampas, atau dilanggar kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun.
Sejak masa Hammurabi seorang raja Babilonia, embrio mengenai konsep HAM telah mulai ada dan dirilis dalam bentuk tertulis sejak ± 1780 SM. Kemudian di masa kaisar Justianus, HAM telah menjadi sebuah peraturan dalam bentuk “Corpus Juris Civilis” sebagai suatu undang-undang mengenai HAM yang melindungi hak-hak warga negara dalam hubungannya dengan kenegaraan.
Namun demikian umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM dalam sebuah konsep yang tertulis dikenal sejak lahirnya Magna Charta 1215 di Inggris. Dengan lahirnya Magna Charta tersebut bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan absolut dan selalu bertindak sewenang-wenang, harus dibatasi menjadi kekuasaan yang bersifat relatif agar dapat membatasi kesewenang-wenangannya. Sehingga dengan konsep ini para raja mulai dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari konsep inilah melahirkan doktrin raja tidak kebal hukum lagi (unimpunidad) dan mulai bertanggung jawab kepada hukum. Sejak saat itu mulai dipraktikkan jika raja melanggar hukum, harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakannya kepada parlemen, jadi sudah mulai dikatakan bahwa raja terikat oleh hukum dan bertanggung jawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada saat itu masih banyak berada di tangan para raja. Dengan demikian lahirnya Magna Charta (1215) merupakan suatu monarki konstitusional karena kekuasaan raja dapat dikatakan hanya sebagai simbol semata. Pasal 21 Magna Charta menggariskan bahwa para pangeran dan baron akan dihukum berdasarkan asas persamaan, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih baik (konkrit) yaitu dengan lahirnya “Habeas Corpus Act” (1679) serta lahirnya “Bill of Right” (1689) pada masa ini mulai nampak adagium yang intinya bahwa semua manusia sama di muka hukum (all man equal before the law). Dari adagium ini tidak hanya melahirkan hak-hak yang fundamental, tapi mendorong juga lahirnya negara hukum dan demokrasi. Bill of right yang melahirkan asas persamaan pada prinsipnya akan melahirkan pula hak kebebasan jika asas persamaan tersebut telah dapat diwujudkan, sebab hak kebebasan baru ada atau dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.  Untuk mewujudkan semua itu, maka muncullah teori Rosseau yaitu teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat, Montesqueu dengan teori trias politica-nya yang mengajarkan teori pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jeferson di Amerika serikat dengan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan yang dicanangkan.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya Virginia Bill of Rights (1776) dan Declaration of Independent (1776) yang mengandung rumusan piagam HAM yang bersifat universal. Kedua piagam tersebut lahir dan dipengaruhi oleh paham Rousseau dan Montesqueu, sebagai akibat perkembangan yang terjadi pada situasi dan kondisi saat itu. Dari sinilah awal penegasan bahwa manusia itu merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir dia harus dibelenggu.
Berikutnya di Perancis lahir apa yang dikenal The Franch Declaration (1789) dimana hak-hak lebih diperinci lagi dan melahirkan asas “the rule of law” antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang sah. Dinyatakan pula prinsip “presumption of innocence” artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan bersalah. Dipertegas pula dengan “freedom of expression (kebebasan dalam mengeluarkan pendapat), “freedom of religions“ (kebebasan beragama), dan “the right of property” (perlindungan terhadap hak milik) serta hak-hak dasar lainnya. Jadi dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin timbulnya demokrasi maupun negara hukum.
Perlu juga diketahui bahwa Presiden Roosevelt mencanangkan “The Four Freedoms  pada tahun 1941 sebagaimana tersebut di bawah ini :
The first is freedom of speech and expression every where in the world, the second is freedom of every person to worship God in his own way every where in the world, the third is freedom from want which, translated in to word terms, mean economic understandings which  will scure to every nation a healthy peace time life for it’s in habitants every where in the world, the fourth is freedom from fear which translated in the world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a pasition to commit an act of physical agression againts any neighbour any where in the world.

Dari kutipan di atas yang menarik adalah poin keempat yaitu hak atas kebebasan dari ketakutan yang meliputi usaha pengurangan persenjataan sehingga tidak satupun bangsa atau negara berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan agresi dan okupasi terhadap negara lainnya. Artinya penggunaan sarana militer sebisa mungkin dihindari.
Di Afrika kita kenal dengan “African Charter on Humans and Peoples Right”. Serta dalam studi hukum Islam (kepustakaan Islam) juga dikenal dengan apa yang disebut “Madinah Charter” yang lahir di jazirah Arab, konteks Piagam Madinah ini merupakan supremasi hukum pertama yang berhasil mempersatukan dari sekian keberagaman perbedaan yang ada pada saat itu, menjadi sebuah kesatuan yang utuh antara kaum muslim dengan non muslim di satu pihak maupun antara non muslim dengan non muslim lainnya di pihak lain, yang memberikan hak dan jaminan kepada siapapun yang menjadi warga negara Madinah. Piagam Madinah yang lahir di Timur Tengah ini lebih lanjut diresepsi, kemudian dijabarkan oleh Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI) dalam sebuah Deklarasi Kairo (1990).
Dilihat dari sejarah peristilahan hak asasi manusia, pertama kali dikenal adalah istilah Natural Right. Karena istilah ini kurang membudaya dalam masyarakat internasional, maka dipakai istilah Right of Man sebagai penggantinya. Namun istilah yang kedua ini juga kurang populer. Alasannya adalah dengan istilah tersebut, maka hak-hak kaum perempuan tidak ter-cover. Dan sebagai padanan istilah yang dapat meng-cover hak-hak kaum laki-laki dan perempuan maka digunakanlah istilah Human Right. Sedangkan dalam studi Islam padanan kata yang digunakan adalah Hakku-Alnaas.
Sebagai akibat kekejaman dan kekejian Hitler di masa Perang Dunia (PD) II yang telah memusnahkan jutaan umat manusia, maka dalam rangka menghargai dan menghormati HAM di muka bumi ini, PBB menetapkan sebuah pernyataan umum tentang HAM yang selanjutnya kita kenal “Universal Declarations of Human Right” (UDHR) 1948. Secara implisit deklarasi ini mengandung pengakuan bahwa setiap manusia diakui sebagai individu dengan menyandang subjek di samping negara. Disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 bahwa tujuan daripada ketentuan HAM ini adalah menghormati hak-hak asasi manusia dan mendorong terciptanya kebebasan manusia tanpa diskriminasi ras, kelamin, suku bangsa, bahasa, agama, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Terbentuknya PBB yang menggantikan LBB serta diumumkannya UDHR 1948, merupakan tonggak permulaan dari suatu perjuangan yang lebih modern dalam melindungi HAM. Untuk mengetahui asal-usul HAM dapat ditelusuri dari teori-teori filsafat tentang hukum kodrat, yaitu suatu hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif suatu negara. Menurut teori ini individu sebagai manusia membawa dalam dirinya sejak lahir hak-hak tertentu yang tidak dapat dihilangkan.
Pada abad ke-19 ada beberapa perkembangan yang telah mengisyaratkan adanya perlindungan modern HAM secara internasional. Perkembangan ini mencakup upaya untuk melindungi hak-hak orang asing di luar negeri dan intervensi kemanusiaan untuk melindungi kelompok minoritas. Upaya lainnya yaitu adanya penghapusan perbudakan dan perdagangan budak. Di abad ini pula sudah terlihat kodifikasi perlindungan HAM dalam konstitusi-konstitusi nasional.
Pada awal abad ke-20, derasnya tuntutan rakyat dari berbagai bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri telah menyebabkan terbentuknya sistem mandat LBB terutama pasca Perang Dunia (PD) I dan setelah berakhirnya mimpi buruk akibat ulah yang ditimbulkan oleh kekejaman dan kekejian Holocaust Nazi telah mempercepat terbentuknya PBB, apalagi melihat pemusnahan dari jutaan umat manusia, menjadi dasar pemikiran untuk merumuskan HAM yang bersifat universal. Hal ini tidak lain karena keprihatinan akan robohnya sendi-sendi kemanusiaan barat.
Dalam menyikapi berbagai pelanggaran HAM pasca PD II piagam PBB berusaha menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap martabat dan nilai pribadi manusia, terhadap persamaan hak-hak pria dan wanita, serta persamaan antara negara besar dan kecil. Tujuan dari pengukuhan piagam tersebut tidak lain untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional demi menggalakkan kemajuan hubungan persaudaraan antar bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak yang sama, penentuan nasib sendiri serta untuk mencapai kerjasama internasional dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan dengan berusaha terus meningkatkan serta mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan terhadap kebebasan dasar manusia, tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun.
HAM internasional adalah ideologi universal pertama di dunia, karena HAM yang sekarang ini diterima oleh negara-negara merupakan sebuah gagasan dari keuniversalitasan HAM setelah pada tahun 1948 Majelis Umum (MU) PBB menyetujui secara bulat DUHAM melalui resolusi MU PBB No. 271.A.III. yang di dalamnya melindungi kehidupan manusia, kemerdekaan dan keamanan pribadi, menjamin kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul secara damai, berserikat dan berkepercayaan agama serta kebebasan bergerak dan melarang perbudakan, penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa proses peradilan yang jujur dan adil serta melanggar hak privatisasi seseorang. Deklarasi ini mengandung juga jaminan terhadap hak-hak ekonomi sosial dan budaya.
Dewasa ini deklarasi tersebut mampu memberikan defenisi mengenai kewajiban menghormati HAM yang harus dilaksanakan oleh pemerintah sebelum masuk menjadi anggota PBB, dan banyak dari ketentuannya telah mengikat secara hukum sebagai hukum internasional yag baku. Meskipun piagam PBB belum mengakui pentingnya sikap tidak boleh ikut mencampuri urusan domestik negara lain namun piagam ini juga menganggap bahwa HAM adalah masalah yang menjadi perhatian dan keperihatinan internasional. Oleh karena itu PBB terus memajukan dan mengembangkan pengkodifikasian HAM ke dalam sebuah Bill of Rights dan berusaha mengimplementasikan dan menguniversalisasikan HAM serta memanusiawikan Hukum Internasional.
Tidak jauh dengan gagasan HAM di masa lalu, DUHAM-pun telah memberikan acuan yang universal mengenai hak warga negara yang dituduh melakukan pelanggaran. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB Tahun 1948 menjadi tolok ukur bagi pengaturan hukum dan Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh konstitusi negara-negara di dunia. Terkait perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa, pasal-pasal relevan yang diatur dalam DUHAM yaitu : hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, dihukum secara tidak manusiawi atau dihina (Pasal 5); hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi (Pasal 7); hak untuk tidak ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang (Pasal 9); hak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya (Pasal 10); hak untuk dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1); Hak untuk tidak boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran hukum itu dilakukan (Pasal 11 ayat 2); Hak untuk tidak diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan surat-menyuratnya, juga tak diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti itu (Pasal 12).
Menyusul disetujuinya DUHAM, komisi HAM PBB telah membuat draft Internasional Bill of Human Rights berikutnya yaitu :
1.      The International Covenan on Civil and Political Right (ICCPR), yaitu sebuah perjanjian atau kovenan internasional yang mengatur tentang hak-hak sipil dan politik;
2.      The International Covenan on Economic Sosial and Cultural Right (ICESCR), yaitu perjanjian yang mengatur mengenai hak-hak ekonomi sosial dan budaya;
3.      Protokol fakultatif pada perjanjian hak-hak sipil dan politik.
Akibat hukum dari kovenan tersebut, menjadikan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang ada dalam deklarasi universal HAM 1948 mengikat secara hukum. Karena telah memberi penjabaran lebih rinci mengenai hak-hak yang dilindungi, serta memberikan tata cara pelaksanaan yang harus diikuti oleh negara-negara anggota.
Di samping kedua kovenan dan satu protokol opsionalnya, PBB juga telah berhasil membuat draft dan mengudangkannya bahkan kini membantu dalam pengimplementasian lebih dari 50 peraturan HAM misalnya yang berkenaan dengan masalah-masalah apartheid, genosida, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap wanita, pencegahan dan perlakuan tidak manusiawi dan masih banyak lainnya. PBB juga telah menggalakkan perlindungan terhadap HAM melalui metoda-metoda yang ditambahkan pada pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan resolusi yang telah disetujuinya, PBB telah mengembangkan norma-norma yang menjabarkan dari tujuan yang dinyatakan dalam Pasal 55 dan 56 Piagam PBB. Pasal 55 piagam meminta PBB untuk meningkatkan kemajuan dan perkembangan ekonomi sosial yakni menyelesaikan masalah-masalah ekonomi sosial kesehatan internasional, kerjasama kebudayaan dan pendidikan, penghormatan HAM tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Sedangkan Pasal 56 piagam meminta semua negara-negara anggota untuk mengambil tindakan baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan dalam Pasal 55 tersebut.
Dilihat dari sudut ketatanegaraan bangsa-bangsa, pada prinsipnya ada dua kecenderungan dasar sosial politik dalam sejarah ketatanegaraan HAM yaitu :
1.      Kecenderungan yang lebih bersifat sosiologis dan berdimensi horizontal.
      Yaitu berkenaan dengan hubungan antara orang-perorangan dan kelompok-perkelompok di dalam masyarakat. Suatu fenomena yang menonjol dalam hal ini adalah semakin meluasnya cakupan hidup kebersamaan manusia, yang semula dari paguyuban yang bersifat primordial dan autarkis, telah berkembang menjadi suatu bangsa yang mampu mengakomodasikan kemajemukan penduduk untuk akhirnya menuju pada suatu kehidupan global yang merupakan forum besar untuk berlangsungnya mobilitas penduduk dengan intensitas dan ekstensitas yang semakin lama semakin tinggi;

2.      Kecenderungan yang lebih bersifat politis dan berdimensi vertikal.
      Yaitu berkenaan dengan pengorganisasian komunitas politik, khususnya terkait dengan bagaimana caranya suatu kolektifitas manusia dipimpin oleh lapisan elitnya. Fenomena yang menonjol dalam hal ini adalah terlihatnya pergeseran kekuasaan yang berlanjut dari pemerintahan kepada rakyat, juga pada awalnya format politik negara-negara lebih bersifat imperium, maka secara perlahan berkembang dan berubah arah menuju format nation state yang bertumpu pada konsep kedaulatan negara. Namun karena berbagai faktor format ini juga dibatasi kedaulatannya oleh norma-norma hukum dan kebiasaan internasional, yang berjalan dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa dengan berbagai fora transnasional dan supranasional lainnya, yang memfasilitasi komunikasi intensif dari dunia kemanusiaan itu baik dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Seluruh perkembangan dunia kemanusiaan tersebut sangat mempengaruhi konsep negara modern, yang secara historis pertama kalinya dipandang lahir pada saat ditandatanganinya perjanjian Westphalia di tahun 1648 setelah mengakhiri perang tiga puluh tahun di Eropa Barat (1618–1648). Jika dalam kurun sebelumnya dianut paham bahwa kekuasaan imperium bertumpu pada kekuatan militerisme, maka ke dalam negara modern ini, kesatuan wawasan antara pemerintah dan rakyatnya menjadi hal yang teramat penting. Negara model Westphalia ini kemudian berubah dan diganti oleh negara nation yang di dasarkan pada paham nasionalisme. Negara nation ini dipandang lahir pada tahun 1776 yaitu sejak didirikannya negara Amerika Serikat dan kemudian menyusul Republik Perancis pada tahun 1789. Adalah menarik perhatian bahwa negara nation lahir melalui pemberontakan terhadap 57 rezim yang menindas rakyatnya sendiri dan lebih akomodatif terhadap aspirasi dan kepentingannya. Disinilah embrio nasionalisme dan demokrasi modern lahir dan tumbuh hampir bersamaan. Tidak salah kiranya bila dikatakan bahwa demokrasi adalah esensi nasionalisme, sedangkan negara nation adalah format politiknya.
            Tanpa demokrasi, negara nation akan merosot menjadi negara Fasis, negara Nazi atau negara militeristik, yang dalam bentuknya paling buruk terlihat pada negara Fasis Italia di bawah Benito Musolini, negara Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler, atau kerajaan Jepang di bawah Jenderal Hidekitojo. Negara-negara inilah yang melancarkan PD II (1939-1945) baik yang berlangsung di Eropa Barat maupun di Asia Timur. Karena sama sekali tidak menghargai manusia dan HAM, dan didukung oleh teknologi perang modern, ketiga rezim ini telah menimbulkan traumatis dan korban yang luar biasa di kalangan umat manusia. Langsung atau tidak langsung, reaksi kemanusiaan inilah yang merupakan dorongan utama untuk menghancurkan ketiga negara yang merupakan abrasi negara nation itu dan mendorong munculnya momentum gerakan HAM internasional sampai saat ini.
            Konsep HAM mempunyai arti penting yang sangat luas, karena tidak hanya menyangkut hak-hak yang ada dan melekat pada setiap individu itu sendiri, tetapi menyangkut juga hak-hak bernegara, hak hukum, hak sosial, hak ekonomi, hak beragama, hak meminta suaka politik dan hak-hak lainnya. HAM yang secara universal diartikan sebagai “Those rights which are inherent in our nature and without which, we can not live as human beings”, merupakan suatu konsep HAM yang pada pasca PD II telah dicantumkan dalam DUHAM PBB tahun 1948. Sejak kelahiran deklarasi ini telah banyak model perjanjian (treaty), pedoman (guidelines) yang dibuat untuk menegakkan HAM.
            Tradisi barat menciptakan konsep HAM dan kebebasan fundamental yang inalianable merupakan bagian alami dari semua umat manusia. HAM dalam konsep barat pada umumnya dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok hak-hak sipil dan politik seperti kebebasan berkumpul dan berekspresi; kelompok kedua adalah hak-hak individual seperti hak-hak sosial ekonomi, hak mendapat pendidikan, bekerja secara sehat dan pelayanan sosial; kelompok ketiga adalah hak-hak kolektif yaitu hak suatu kelompok untuk menentukan nasibnya sendiri atau hak untuk menikmati kebebasan dan persamaan menikmati kekayaan dan sumber daya alam, termasuk hak untuk menikmati pembangunan. Hak pada kelompok satu dan dua dalam negara berkembang disebut directive principles of state policy yang non justiciable, sedangkan hak pada kelompok ketiga adalah semua orang yakni hak atas kepuasan pembangunan.
            Dalam African Charter on Human and Peoples Rights (Piagam Afrika) ditetapkan bahwa semua orang otomatis memiliki hak yang sama terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budayanya dengan penghargaan atas kebebasan dan identitas mereka serta dalam menikmati apa yang diwariskan oleh manusia lainnya secara individualistik. Oleh karena itu negara dapat memiliki kewajiban baik secara individu maupun secara kolektif untuk melindungi pelaksanaan hak-hak di atas.
Dalam Viena World Conference on Human Rights, negara-negara Asia menyetujui bahwa HAM harus dipertimbangkan dalam sebuah proses yang berevolusi dengan mengingat signifikasi kekhususan regional dan nasional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama.
            Pada prinsipnya konsep HAM dapat dikelompokkan kedalam empat pandangan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Mereka yang berpandangan universal absolut, kelompok ini melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan di dalam The International Bill of Rights, mereka tidak menghargai sama sekali profil budaya yang melekat pada masing-masing bangsa;
2.      Mereka yang berpandangan universal relatif, kelompok ini melihat persoalan HAM sebagai persoalan universal, namun demikian pengecualian-pengecualian (exception) yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya;
3.      Mereka yang berpandangan partikularistik absolut, kelompok ini melihat persoalan HAM sebagai persoalan masing-masing negara, tanpa memberikan alasan kuat khususnya dalam melakukan penolakan terhadap keberlakuannya dokumen-dokumen internasional;
4.      Mereka yang berpandangan partikularistik relatif, kelompok ini melihat HAM disamping sebagai persoalan universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Bahwa berlakunya dokumen-dokumen internasional harus diselaraskan, diserasikan dan diseimbangkan, serta memperoleh dukungan dan tertanam (embedded) dalam budaya bangsa.
Indonesia sebagaimana dipaparkan oleh Muladi, jelas menganut konsep yang keempat yaitu yang berpandangan partikularistik relatif dengan tetap memperhatikan dan mengembangkan konsep yang kedua yaitu universal relatif dengan berusaha menemukan titik dialogis terhadap konsep-konsep yang lainnya atas dasar Pancasila dan UUD 1945 serta dokumen-dokumen HAM internasional. Tinggal persoalannya adalah bagaimana konsep di atas mampu diimplementasikan ke dalam hukum positif nasional kita serta konsistensi penegakannya.
            Menilik pada sejarah HAM domestik Indonesia, ada yang berargumen bahwa sesungguhnya akar kultural HAM-nya tidak begitu kuat dalam menumbuhkan pengakuan hak. Namun demikian tetap harus disadari bahwa dalam konteks kultural atau khasanah budaya kita masih memiliki elemen-elemen pro Hak Asasi Manusia walaupun tampak lemah. Embrio dari pengakuan HAM di Indonesia sudah ada ketika perjuangan R.A. Kartini yang terkenal dengan konsep Emansipasi Wanita, konsep HAM Dauwes Dekker, konsep HAM Soekarno dan lain-lainnya. Hanya saja konsep HAM tersebut memang tidak tampak secara eksplisit.

1 komentar: